HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI DAN YANG TIDAK DISEPAKATI
Dosen Pembimbing : Erpendi, S.Th.I.,M.AMata Kuliah : Ushul Fiqh
Disusun Oleh
Nama :Muhammad Hairi
Nimko : 1209.11.06359Jurusan : PAI
Lokal/Smt : E/III (Tiga)
Fakultas : STAI Auliaurrasyidin
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AULIAURRASYIDIN
(STAI)
TEMBILAHAN HULU INDRAGIRI HILIR
T.A. 2011/2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis telah panjatkan atas kehadirat Allah SWT sang
Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat
aturan-Nya, karena berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta
inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan tema “Hukum Islam Yang Disepakati Dan Yang Tidak Disepakati” yang sederhanaini dapat terselesaikan tidak kurang daripada waktunya.
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklain untuk memenuhi salah satu dari sekian kewajiban mata kuliah Ushul Fiqhserta merupakan bentuk langsung tanggung jawab penulis pada tugas yang diberikan.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Drs. H. Muhammad Idris DM, MM, M.Si selaku dosen serta semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulis pun
sadar bawasannya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari
kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Allah Azza
Wa’jala hingga dalam penulisan dan penyusunnnya masih jauh dari kata
sempurnaAkhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidak
sempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan sesuatu
yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca,
dan bagi seluruh mahasiswa-mahasiswi Sekolah Tinggi Agama Islam
Miftahul ‘Ulum Tanjungpinang. Amien ya Rabbal ‘alamin.
Daftar Isi
KATA PENGANTAR.. iDaftar Isi ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang. 1
B. Rumusan Masalah. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Dalil 2
B. Dalil Hukum yang Disepakati 3
a. Al-Qur’an. 3
b. As-Sunnah. 5
c. Ijma’ 7
d. Qiyas. 8
C. Dalil Hukum yang Tidak Disepakati 9
a. Isthisan. 9
b. Isthisab. 10
c. Maslahah Mursalah (kemaslahatan umum) 12
d. ‘Urf. 13
BAB III 15PENUTUP
A. Kesimpulan. 15
B. Saran. 15
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam ilmu Ushul Fiqih kita akan banyak diperkenalkan pada pembahasan
tentang berbagai macam dalil hukum atau metode ijtihad para ulama dalam
mengambil keputusan suatu hukum.
Dalil – dalil hukum tersebut para jumhur ulama ada dalil hukum yang
sepakati dan ada juga yang tidak sepakati. Dalil hukum yang disepakati
adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas tetapi antara Ijma dan
Qiyas ada yang sepakat ada juga yang tidak akan tetapi yang tidak
sepakat hanya sebagian kecil yang tidak menyepakati adanya dalil hukum
qiyas.
Sedangkan dalil hukum yang tidak disepakati adalah Isthisan, isthisab, Maslahah Mursalah, Urf, Mahzab Shahabi, dan syaru man Qoblama. Sebagian
jumhur ulama ada yang menjadikan dalil-dalil tersebut sebagai sumber
hukum dan ada juga yang tidak sepakat, maka disinilah terjadi 2 bagian,
yang sebagian sepakat dan yang sebagian lagi tidak sepakat mengenai
dalil yang dijadikan sebagai sumber hukum.
Tentunya kita sebagai ummat Islam harus mengetahui mana saja dalil
hukum yang disepakati dan mana saja dalil hukum yang tidak disepakati,
untuk membekali diri kita dalam mengambil sebuah hukum, apakah yang
dalam kehidupan kita sehari-hari telah mengacu kepada dalil-dalil
tersebut atau tidak. Jangan sampai ada keraguan dalam diri kita mengenai
sesuatu hukum.
- B. Rumusan Masalah
Adapun remusan masalah dalam judul hukum yang disepakati dan tidak disepakati dapat pemakalah rumusan
1. Apa definisi dalil itu?
2. Apa saja dalil hukum yang disepakati?
3. Apa saja dalil hukum yang tidak disepakati?
BAB II
PEMBAHASAN
- A. Definisi Dalil
Ilmu Ushul Fiqih memiliki dua tema kajian yang utama, yakni; (1)
menetapkan suatu hukum berdasarkan dalil; dan (2) menetapkan dalil bagi
suatu hukum. Dengan demikian, ilmu Ushul Fiqih tidak dapat lepas dari
dua aspek pembahasan, yakni dalil dan hukum. Istilah dalil menurut
pengertian bahasa mengandung beberapa makna, yakni: penunjuk, buku
petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti, dan saksi.
Ringkasnya, dalil ialah penunjuk (petunjuk) kepada sesuatu, baik yang
material (hissi) maupun yang non material (ma’nawi).
Sedangkan secara istilah, para ulama ushul fiqih mengemukakan
mengenai definisi dalil yaitu : sesuatu yang dijadikan sebagai dalil
terhadap hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia yang
didasarkan pada pandangan yang benar mengenainya, baik secara qathi
(pasti) atau Zhanni (kuat).
Selain itu beberapa definisi tentang dalil menurut para Ushul Fiqh mengemukakan, di antaranya adalah sebagai berikut.
- Menurut Abd al-Wahhab al-Subki, dalil adalah sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan (orang) dengan menggunakan pikiran yang benar untuk mencapai objek informatif yang diinginkannya.
- Menurut Al-Amidi, para ahli Ushul Fiqih biasa memberi definisi dalil dengan “sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan [orang] kepada pengetahuan yang pasti menyangkut objek informatif”.
- Menurut Wahbah al-Zuhaili dan Abd al-Wahhab Khallaf, dalil adalah sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara yang bersifat praktis.
Dalam hal ini, para ulama sepakat menempatkan al-Quran dan As-Sunnah
sebagai dalil dan berbeda pendapat tentang dalil-dalil selebihnya; ada
yang menerimanya sebagai dalil dan ada yang menolaknya; atau, ada yang
menerima sebagiannya dan menolak yang selebihnya.
Dari sini dapat penulis simpulkan bahwa dalil adalah merupakan
sesuatu yang daripadanya diambil hukum syara’ yang berkenaan dengan
perbuatan manusia secara mutlak, baik dengan jalan qathi atau dengan jalanzhanni mengenai pandangan kebenaran.
- B. Dalil Hukum yang Disepakati
Berdasarkan penelitian dapat dipastikan para jumhur ulama bersepakat
menetapkan empat sumber dalil (al-Quran, as-Sunnah, al-Ijma, dan
al-Qiyas) sebagai dalil yang disepakati. Akan tetapi, ada beberapa ulama
yang tidak menyepakati dua sumber yang terakhir (Ijma dan Qiyas). A.
Hassan, guru Persatuan Islam, menganggap musykil terjadinya Ijma,
terutama setelah masa sahabat. Demikian juga Muhammad Hudhari Bek. Para
ulama dari kalangan madzhab Zhahiri (di antara tokohnya adalah Imam Daud
dan Ibnu Hazm al-Andalusi) dan para ulama Syiah dari kalangan Akhbari
tidak mengakui al-Qiyas sebagai dalil yang disepakati.
Untuk lebih jelasnya berikut kami sajikan dalil yang disepakati yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
- a. Al-Qur’an
- 1. Definisi
Dari segi bahasa Lafadz Al-Quran berasal dari lafadz qira’ah, yaitu
mashdar (infinitif) dari lafadz qara’a, qira’atan, qur’anan. Dari aspek
bahasa, lafadz ini memiliki arti “mengumpulkan dan menghimpun
huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang
tersusun rapih”. Sedangkan secara istilah al-Qur’an ialah kitab yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang ditulis dalam mushaf yang
diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir, tanpa ada
keraguan.
Al-Qur’an ( القرآن ) adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam memercayai bahwa Al-Qur’an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Jadi dapat disimpulkan Al-Qur’an Al-Qur’an ialah wahyu berupa
kalamullah yang diamanatkan kepada malaikat jibril, disampaikannya
kepada Nabi Muhammad Saw, isinya tak dapat ditandingi oleh siapapun dan
diturunkan secara bertahap, lalu disampaikan kepada umatnya dengan jalan
mutawatir dan dimushafkan serta membacanya dihukumkan sebagai suatu
ibadah.
- 2. Kedudukan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum
Al-Qur’an berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya
kehidupan manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam
berselisih dalam segala urusan hendaknya ia berhakim kepada al-Qur’an.
Al-Qur’an lebih lanjut memerankan fungsi sebagai pengontrol dan
pengoreksi tehadap perjalanan hidup manusia di masa lalu. Misalnya kaum
Bani Israil yang telah dikoreksi oleh Allah.
Al-Qur‘an juga mampu memecahkan problem-problem kemanusiaan dengan
berbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi, maupun
politik dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang
Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.
Pada setiap problem itu al-Qur’an meletakkan sentuhannya yang mujarab
dengan dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk
langkah-langkah manusia dan yang sesuai pula dengan zaman. Dengan
demikian, al-Qur’an selalu memperoleh kelayakannya di setiap waktu dan
tempat, karena Islam adalah agama yang abadi. Alangkah menariknya apa
yang dikatakan oleh seorang juru dakwah abad ke-14 ini, “Islam adalah
suatu sistem yang lengkap, ia dapat mengatasi segala gejala kehidupan.
Ia adalah negara dan tanah air atau pemerintah dan bangsa. Ia adalah
moral dan potensi atau rahmat dan keadilan. Ia adalah undang-undang atau
ilmu dan keputusan. Ia adalah materi dan kekayaan atau pendapatan dan
kesejahteraan. Ia adalah jihad dan dakwah atau tentara dan ide. Begitu
pula ia adalah akidah yang benar dan ibadah yang sah”.
- 3. Hukum-hukum dalam Al-Qur’an
Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu ada 3 macam, yaitu:Pertama, hukum-hukumi’tiqadiyah.
Yakni, hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk
beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya.
Rasul-rasul-Nya dan hari pembalasan.
Kedua, hukum-hukum akhlaq. Yakni, tingkah laku yang berhubungan
dengan kewajiban mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat
keutamaan dan menjauhkan dirinya dan sifat-sifat yang tercela.
Ketiga, hukum-hukum amaliah. Yakni, yang berkaitan dengan
perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, perjanjian-perjanjian dan
mu’amalah (kerja sama) sesama manusia. Kategori yang ketiga inilah yang
disebut Fiqhul Qur’an dan itulah yang hendak dicapai oleh Ilmu Ushul
Fiqih.
Hukum-hukum amaliah di dalam Al-Qur’an itu terdiri atas dua macam, yakni:
1) Hukum ibadat. Misalnya, shalat, shaum, zakat, haji dan
sebagainya. Hukum-hukum ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur
hubungan hamba dengan Tuhan.
2) Hukum-hukum mu’amalat. Misalnya, segala macam perikatan, transaksi-transaksi kebendaan, jinayat dan ‘uqubat (hukum
pidana dan sanksi-sanksinya). Hukum-hukum mu’amalah ini diciptakan
dengan tujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik
sebagai perseorangan maupun sebagai anggota masyarakat.Hukum-hukum
selain ibadat menurut syara’ disebut dengan hukum mu’amalat.
Hasil penyelidikan para ulama tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang
berhubungan dengan hukum-hukum menunjukkan bahwa hukum-hukum Al-Qur’an
yang berkaitan dengan ibadat dan ahwalus-syakhshiyahsudah
terperinci. Kebanyakan dari hukum-hukum ini bersifat ta’abudi (ibadat)
sehingga tidak banyak memberikan kesempatan ahli pikir untuk
menganalisanya dan hukum ini bersifat permanen, tetap tidak berubah-ubah
lantaran perubahan suasana dan lingkungan.
Adapun selain hukum-hukum ibadat dan ahwal al-syakhshiyah, seperti hukum perdata, pidana (jinayat), perundang-undangan (dusturiyah), internasional (dauliyah) dan ekonomi dan keuangan (iqtishadiyah wa al-maliyah), maka
dalil-dalil hukumnya masih merupakan ketentuan yang umum atau masih
merupakan dasar-dasar yang asasi. Sedikit sekali yang sudah terperinci.
Hal itu disebabkan karena hukum-hukum tersebut berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan kemaslahatan yang sangat dihajatkan.
Dalam hal ini Al-Qur’an hanya memberi ketentuan-ketentuan umum dan
dasar-dasar yang asasi saja agar penguasa setiap saat mempunyai
kebebasan dalam menciptakan perundang-undangan dan melaksanakannya
sesuai dengan kemaslahatan yang dihajatkan pada saat itu, asal tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan (dalil-dalil) dan jiwa syari’at.
- b. As-Sunnah
- 1. Definisi As-Sunnah
As-Sunnah atau al-hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Saw, baik berupa qaul (ucapan), fi’il (perbuatan) maupun
taqrir (sikap diam tanda setuju) Nabi Saw. Sesuai dengan tiga hal
tersebut yang disandarkan kepada Rasulullah Saw, maka sunnah itu dapat
dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
1) Sunnah qauliyyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam
beraneka tujuan dan kejadian. Misalnya sabda beliau sebagai berikut.
Tidak ada kemudharatan dan tidak pula memudharatkan. (HR. Malik).
Hadis di atas termasuk sunnah qauliyyah yang bertujuan memberikan
sugesti kepada umat Islam agar tidak membuat kemudharatan kepada dirinya
sendiri dan orang lain.
2) Sunnah fi’liyyah ialah segala tindakan Rasulullah Saw.
Misalnya tindakan beliau melaksanakan shalat 5 waktu dengan
menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan rukun-rukunnya, menjalankan
ibadah haji, dan sebagainya.
3) Sunnah taqririyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian
sahabat, baik di hadapannya maupun tidak di hadapannya, yang tidak
diingkari oleh Rasulullah Saw atau bahkan disetujui melalui pujian yang
baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan atau perbuatan yang
dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai perkataan atau perbuatan
yang dilakukan oleh beliau sendiri.
- 2. Kehujjahan As-Sunnah
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan
pada keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, juga didasarkan kepada
kesepakatan para sahabat. Para sahabat telah bersepakat menetapkan
kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Para ulama telah sepakat
bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam menentukan hukum.
Namun demikian, ada yang sifatnya mutaba’ah(diikuti) yaitu tha’ah dan qurbah (dalam taat dan taqarrub kepada Allah) misalnya dalam urusan aqidah dan ibadah, tetapi ada juga yang ghair mutaba’ah (tidak diikuti) yaitu jibiliyyah (budaya)
dan khushushiyyah (yang dikhususkan bagi Nabi). Contoh jibiliyyah
seperti mode pakaian, cara berjalan, makanan yang disukai. Adapun contoh
khushushiyyah adalah beristri lebih dari empat, shaum wishal sampai 2
hari dan shalat 2 rakaat ba’da Ashar.
Hukum-hukum yang dipetik dari As-Sunnah wajib ditaati sebagaimana
hukum-hukum yang diistinbathkan dari al-Qur’an sebagaimana diungkapkan
dalam QS Ali- Imran: 32, An- Nisa: 80, 59 dan 65, dan Al- ahzab: 36.
- 3. Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an
As-Sunnah, dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat dilihat dari
dua aspek, yakni hubungannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
bersifat mandiri. Dari aspek hubungannya dengan al-Quran, As-Sunnah
adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Hubungan ini disebut
hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, As-Sunnah sebagai
penjelas bagi Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Di antara dasarnya
adalah firman Allah Ta’ala dalam QS. al- Hasyr: 7, an- Nahl: 44, dan an-
Nahl: 64.
- 4. Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an
Fungsi As-Sunnah terhadap al-Qur’an dari segi kandungan hukum mempunyai 3 fungsi sebagai berikut.
1) As-Sunnah berfungsi sebagai ta’kid (penguat) hukum-hukum
yang telah ada dalam Al-Qur’an. Hukum tersebut mempunyai 2 dasar hukum,
yaitu Al-Qur’an sebagai penetap hukum dan As-Sunnah sebagai penguat dan
pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan shalat, mengeluarkan zakat,
larangan syirik, riba dan sebagainya.
2) As-Sunnah sebagai bayan (penjelas)
3) takhshish (pengkhusus) dan taqyid (pengikat) terhadap ayat-ayat yang masih mujmal (global), ‘am (umum) atau muthlaq (tidak
terbatasi), yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang belum jelas petunjuk
pelaksanaannya, kapan dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam
As-Sunnah. Misalnya, perintah shalat yang bersifat mujmal dijabarkan
dengan As-Sunnah. Nabi Saw bersabda: “Shalatlah kalian seperti kalian
melihat (mendapatkan) aku shalat.” (HR. Bukhari)
- c. Ijma’
- 1. Definisi
Menurut ulama Ushul Fiqh, ijma adalah kesepakatan para imam mujtahid
di antara umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw wafat,
terhadap hukum syara tentang suatu masalah. Karena itu, jika terdapat
suatu kejadian yang dihadapkan kepada seluruh mujtahid di kalangan umat
Islam pada suatu waktu, mereka kemudian bersepakat terhadap suatu hukum
mengenai kejadian tersebut. Kesepakatan mereka itulah yang disebut ijma.
- 2. Kehujjahan Ijma’
Apabila keempat rukun ijma’ terpenuhi (1. Adanya sejumlah mujtahid
saat terjadinya peristiwa, 2. Adanya kesepakatan mujtahid tentang
peristiwa tanpa memandang latar belakang, 3. Adanya pendapat dari
masing-masing mujtahid, 4. Realisasi dari kesepakatan mujtahid) dengan
diadakan perhitungan pada suatu masa diantara masa-masa sesudah
Rasulullah SAW wafat terhadap semua mujtahid Umat Islam menurut
perbedaan latar belakang para mujtahid, kemudian
mereka dihadapkan kepada suatu kejadian untuk diketahui hukum syara’nya
dan masing-masing mujtahid mengemukakan pendapat , baik secara kolektif
ataupun secara individual, kemudia mereka sepakat atas suatu hukum
mengenai suatu peristiwa maka hukum yang disepakati ini adalah suatu
undang-undang syar’I yang wajib diikuti dan tidak boleh ditentang.
Jadi kehujjahan ijma’ sebagaimana dalam Qur’an Surat An-Nisa ayat 59,
Allah memerintahkan orang yang beriman untuk menaati Perintah-Nya,
Rasul, dan juga Ulil Amri. Ibnu Abbas menafsirkan Ulil Amrisebagai Ulama’, jika ulama’ telah sepakat mengenai sesuatu hukum hendaknya hukum itu diikuti dan ditaati.
- 3. Macam-Macam Ijma’
Dilihat dari segi melakukan ijtihadnya, ijma itu ada dua bagian yaitu :
1) Ijma Sharih yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu
terhadap suatu kejadian dengan menyajikan pendapat masing-masing secara
jelas yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan.
2) Ijma Syukuty yaitu sebagian mujtahid pada satu waktu
mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu kejadian yang
dilakukan dengan cara memberi fatwa dan mujtahid lainnya tidak
menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya atau perbedaannya.
Sedangkan dilihat dari segi qath’i dan zhanni dalalah hukumnya, ijma ini terbagi menjadi dua bagian juga yaitu sebagai berikut.
1) Ijma Qoth’i. Dalalah hukumnya ijma sharih, hukumnya
telah dipastikan dan tidak ada jalan lain untuk mengeluarkan hukum yang
bertentangan serta tidak boleh mengadakan ijtihad hukum syara mengenai
suatu kejadian setelah adanya ijma sharih.
2) Ijma Zhanni. Dalalah hukumnya ijma syukuty, hukumnya
diduga berdasarkan dugaan kuat mengenai suatu kejadian. Oleh sebab itu
masih memungkinkan adanya ijtihad lain, sebab hasil ijtihad bukan
merupakan pendapat seluruh mujtahid.
- d. Qiyas
- Pengertian
Al-Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang
lain yang bisa menyamainya. Contohnya, mengukur pakaian dengan meteran.
Sedangkan menurut ulama Ushul Fiqh, Qiyas adalah menyamakan satu
kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya
pada hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan di antara dua
kejadian itu dalam illat hukumnya. Misalnya, masalah meminum khamr
merupakan suatu perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam nash.
Hukumnya haram berdasarkan QS Al-Maidah ayat 90. Dengan illat
memabukkan. Oleh karena itu setiap minuman yang terdapat illat
memabukkan hukumnya sama dengan khamr dan haram meminumnya.
- Rukun-Rukun Al-Qiyas
Setiap Qiyas terdiri dari empat rukun sebagai berikut
1) Al-Ashl ialah sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash.
Rukun ini biasanya disebut Maqis ‘Alaih (yang dipakai sebagai ukuran).
2) Al-Far’u ialah sesuatu yamg hukumnya tidak terdapat di dalam
nash dan hukumnya disamakan kepada al-ashl, biasa disebut juga Al Maqis
(yang diukur)
3) Hukmul Ashl ialah hukum syara yang terdapat nashnya menurut al ashl dan dipakai sebagai hukum asal bagi al-Far’u.
4) Al-Illat ialah keadaan tertentu yang dipakai dasar bagi hukum
ashl, kemudian al-Far’u itu disamakan kepada ashl dalam hal hukumnya.
- C. Dalil Hukum yang Tidak Disepakati
Selain dari empat dalil hukum diatas yang mana para ulama
sepakat, akan tetapi ada juga dalil hukum yangmana mayoritas ulama Islam
tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian diantara
mereka. Ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan
hukum syara’, dan sebagian yang lain mengingkarinya. Oleh karena itu ada
dalil yang depakati dan dalil yang tidak disepakati, dalil-dalil yang
diperselisihkan pemakaiannya ada enam : Al-Istihsan, Al-Maslahah Mursalah, Al-Ihtishhab, Al-Urf, Madzhab Shahabi, danSyaru Man Qablana.
- Isthisan
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh,
ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang
lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar
dalil syara”.
- 1. Khilaf Tentang Dasar Hukum Istihsan
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai
dasar hujjah ialah Al-Imam As-Syafi”i dan mazhabnya. Menurut mereka
adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam
Syafi”i berkata, “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah
menetapkan sendiri hukum syara” berdasarkan keinginan hawa nafsunya,
sedang yang berhak menetapkan hukum syara” hanyalah Allah SWT.” Dalam
buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan,
“Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang
melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan
bahwa arah itu adalah arah Ka”bah, tanpa ada dalil yang diciptakan
pembuat syara” untuk menentukan arah Ka”bah itu.”
Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan
menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat
Madzhab Syafi”i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas,
dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu,
sedang menurut Madzhab Syafi”i, istihsan itu timbul karena rasa kurang
enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Maka seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian
ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu
dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât
menyatakan, “orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak
boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah
berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan
Allah SWT menciptakan syara” dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara”
yang umum.
- 2. Kehujjahan Isthisan
Menurut Abdul Wahab Kallaf Dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh menyatakan
bahwa “Pada hakikatnya Isthisan bukanlah sumber hukum yang berdiri
sendiri, karena sesungguhnya hukum isthisan bentuk yang pertama dari
kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang
mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa factor
yang menenangkannya yang membuat hati mujtahid tenang. Sedangkan bentuk
yang kedua dari isthisan adalah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang
menuntut pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum) dan ini juga yang disebut dengan segi Isthisan”.
- Isthisab
Secara terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah
yang digunakan dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang
disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah Definisi
al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah
penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa
selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena
tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum
tersebut)”.
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk
dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia
tidak menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas.
Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan: “Ia
(istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti
ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam
al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak
menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya
dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’
(istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka
prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku”.
- Jenis-jenis Istishhab
Para ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini akan disebutkan yang terpenting diantaranya, yaitu:
1) Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak
ditemukan dalil lain yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat
dan haram jika ia membawa mudharat -dengan perbedaan pendapat yang
masyhur di kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal
sesuatu itu adalah mubah atau haram-. Salah satu contohnya adalah jenis
makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil lainnya seperti ijma’ dan
qiyas
2) Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum
asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan
apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia untuk
melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu
3) Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan.
- Kehujjahan Isthisab
Isthisab merupakan akhir dalil syar’I yang menjadi tempat kembali
seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan
kepadanya. Oleh karena itu, maka para ahli ilmu ushul fiqh berkata
:”Sesungguhnya Isthisab merupakan akhir tempat beredarnya fatwa. Ia
adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap
baginya, sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya”.
- Maslahah Mursalah (kemaslahatan umum)
Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan
mursalah. Maslahat sendiri secara etimologi didefinisikan sebagai upaya
mengambil manfaat dan menghilangkan mafsadat/madharat. Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat mamiliki dua terma yaitu adanya manfaat (إجابي) dan menjauhkan madharat (سلبي). Terkadang maslahat ini ditinjau dari aspek ijab-nya saja, ini menjadi qorinah menghilangkan mafsadat. Seperti pendapat fuqaha bahwasanya “ menghilangkan mafsadat didahulukan dalam menegakan maslahat” .
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa maslahat merupakan inti dari
setiap syari’at yang diturunkan oleh Allah kepada manusia untuk menjaga
maksud syari’at (ushulul khomsah).
Adapun mursalah dipahami sebagai sesuatu yang mutlak غير مقيد yaitu maslahat yang secara khusus tidak dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah maupun larangan. Dengan tidak adanya qorinah tersebut, maka maslahat bisa menjadi acuan dalam menentukan suatu hukum.
Syarat-syarat mashalihul mursalah menurut Imam Syatibi memberikan 3 syarat yang berbeda dengan Imam Ghazali.
1) Rasional. Ketika mashalihul mursalah dihadapkan dengan akal,
maka akalpun bisa menerimanya. Dengan syarat ini perkara-perkara prinsip
(ibadah) tidak masuk kepada mashlahat mursalah.
2) Sinergi dengan maqhasid syari’ah
3) Menjaga prinsip dasar (dharuri) untuk menanggalkan kesulitan (raf’ul haraj).
- Kehujjahan Maslahah Mursalah
Masih menurut Abdul Wahab Kallaf menyatakan bahwa Jumhur Ulama Ummat
Islam berpendapat, bahwasannya maslahah mursalah adalah Hujjah
Syar’iyyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya
kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash atau Ijma’ atau qiyas,
ataupun Isthisan disayri’atkan kepadanya hukum yang dikehendaki oleh
kemaslahatan umum. Pembentukan hukum tersebut atas dasar kemaslahatan
ini tidak boleh ditangguhkan sampai ada bukti pengakuan dari syara’”.
Akan tetapi masih banyak juga yang menolak mengenai kehujahan
Maslahah Mursalah mereka berpendapat bahwa maslahah mursalah yang tidak
ada bukti syar’I yang membuktikan terhadap pengakuan terhadapnya maupun
pembatalannya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum.
Yang jelas mentarjihkan pendasaran pembentukan hukum atas maslahah
mursalah dapat dilakukan, karena apabila tidak dibuka maka akan terjadi
stagnasi pembentukan hukum Islam dan akan berhenti mengikuti perjalanan
situasi dan kondisi serta lingkungan.
Adapun terhadap kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsipnya
Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan
hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka
berbeda pendapat. Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan
maslahah al-mursalah sebagai dalil disyaratkan maslahah tersebut
berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang
menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan
‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat
yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai
motivasi suatu hukum. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah
al-mursalah sebagi dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap
sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya.
- ‘Urf
- Pengertian
Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti
sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh
pikiran yang sehat.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
- Pembagian urf
1) Ditinjau dari bentuknya ada dua macam
i. Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa
perkataan, seperti kata lahm ( daging) dalam hal ini tidak termasuk
daging ikan
ii. Al Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa
perbuaatan, seperti perbuatab jual beli dalam masyarakat tampa
mengucaplan akad jual-beli.
2) Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :
i. Al Urf As Shahih, yaitu urf’ yang baik dan dapat ditrima, karena tidak bertentangan dengan nash hukum syara’
ii. Al Urf al Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena bertentangan dengan hukum syara
3) Ditinjau dari luasnya berlakunya, ada dua macam :
i. Al Urf Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka dahulu hingga sekarang
ii. Al urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya
dikenal pada suatu tempat saja, urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu.
4) Syarat-syarat urf dapat diterima oleh hukum islam
i. Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
ii. Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas
syari’at termasuk juga tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau
kesempitan.
iii. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.
- Kehujjahan ’urf
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat
dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan
hukum atau keputusan
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan
perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang
terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan
tidak bertentangan dengan syara’
Imam Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena
melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang
berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas
karena bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umum nas
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Dalam penyajian makalah ini makadapat kami simpulkan bahwa hukum
islam itu ada yang disepakati dan ada juga yang tidak disepakati. Hukum
islam yang disepakati itu ada empat yaitu : Al-qur’an, Sunnah, Ijtima’
dan Qias. Sedangkan hukum islam yang tidak disepakati yaitu : Ihtishab,
Ihtisan, masalul mursal, U’ruf. Inilah hukum-hukum Islam yag ada baik
yang disepakati maupun tidak menurut ilmu ushul fiqh
- Saran
Untuk mengetahui hukum-hukum Islam yang tepat hendaklah kita
benar-benar mengetahui apa yang menjadi landasan hukum itu saran
pemakalah setiap perlakuan hendaklah memiliki dasar yang kuat agar tidak
terjadi kekeliruan dikemudian hari.
Daftar Pustaka
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: Logos, 1999)
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: Logos, 1999),
Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama, 1999)
Departemen Agama RI. 1971. Al-Qur’an dan terjemahnya: Jakarta
Abdullah, sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jambi : Sinar Grafika.
Bakry Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada..